Minggu, 14 Maret 2010

Penerapan Biaya Hak Penggunaan Berdasarkan Lebar Pita Pada Penyelenggara Telekomunikasi Seluler dan Fixed Wireless Access (FWA)


Sebagai orang awam, saat pertama kali mendengar CDMA adalah identik dengan harganya yang murah. Tapi tampaknya itu semua akan berakhir semenjak Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menggodok Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) pola penarikan Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) frekuensi berbasis pita. Draf white paper dari RPP itu sudah disosialisasikan sejak tahun lalu ke para pelaku usaha. Dalam draf itu, disebutkan BHP berbasis pita seharusnya dilaksanakan pada tahun ini dengan masa transisi lima tahun ke depan.

BHP berbasis pita adalah penarikan biaya frekuensi radio berdasarkan lebar pita (bandwidth) untuk semua jenis izin penyelenggaraan. Sedangkan saat ini yang berlaku adalah BHP berdasarkan Izin Stasiun Radio (ISR) yang besaran BHP-nya frekuensi sangat bergantung pada jumlah pemancar stasiun radio. Oleh karena itu, tidak akan ada lagi pembedaan fixed wireless access (FWA) dengan seluler. Salah satu konsekuensi penerapan BHP berbasis pita adalah berlakunya Unified Access (UA).

Pemanasan berlakunya UA sudah terlihat dari keluarnya Peraturan Menteri (PM) No 01/2010 tentang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi yang dianggap sebagai antisipasi jika BHP Pita berlaku, FWA akan dilikuidasi. Payung hukum kemunculan layanan FWA adalah Kepmenhub No 35/2004 tentang Penyelenggaraan Jaringan Tetap Lokal Tanpa Kabel dengan Mobilitas Terbatas. Bila merujuk aturan itu, disebutkan layanan ini adalah jasa telekomunikasi yang memiliki wilayah layanan sesuai dengan kode areanya. Di Indonesia penyelenggara FWA adalah Telkom Flexi, Indosat StarOne, Bakrie Telecom (esia), dan Mobile-8 (Hepi).

Identiknya FWA dengan teknologi Code Division Multiple Access (CDMA) tak bisa dilepaskan dari keinginan pemerintah yang berkeinginan untuk mengembangkan jaringan tetap lokal (Jartaplok) secara masif. Namun, pemilihan teknologi inilah yang dianggap simalakama karena CDMA 2000 di International Telecommunication Union (ITU) sudah dikategorikan sebagai IMT-2000 atau 3G. Tetapi, karena izin dikantongi pemain Jartaplok, maka teknologinya dipasung tidak boleh roaming dan tidak boleh bergerak diluar kode wilayah. Sebagai kompromi, kompensasi membayar BHP frekuensi dan interkoneksi FWA lebih rendah daripada jaringan seluler. Kabarnya hanya seperdelapan dari BHP seluler.

Menanggapi hal itu, Heru mengakui, jika sistem UA dijalankan, maka terjadi perubahan di tarif ritel. “Tetapi harus disadari kalau sebenarnya tarif FWA itu tidak murah. FWA itu hanya murah untuk jasa SMS,” katanya. Heru memprediksi, jika UA dijalankan maka yang terjadi adalah layanan FWA hanya dijadikan semacam fitur saja oleh operator karena pemain seluler pun bisa menyelenggarakan layanan tersebut. “Nanti kondisinya seperti di India. Ini tak bisa dihindari lagi karena syarat dari era konvergensi,” katanya.

Referensi:

http://bataviase.co.id/node/89119

http://www.depkominfo.go.id/berita/siaran-pers-no-200pihkominfo102009-tentang-konsultasi-publik-“white-paper”-penerapan-biaya-hak-penggunaan-berdasarkan-lebar-pita-bhp-pita-pada-penyelenggara-telekomunikasi-selul/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar